Minggu, 15 Agustus 2010

Pembelajaran yang menyenangkan dan berakhlak

Beberapa waktu yang lalu saya menyaksikan sebuah berita yang membuat saya bingung (bingung juga mau geleng kepala atau mengelus dada). Seorang murid SD yang melaporkan kepada orang tuanya dianiaya teman-temanya hingga berdarah. Sedang menurut pihak guru kelas, anak tersebut terluka karena terbentur meja, namun guru mengakui kalau menyuruh teman-temannya menampar anak tersebut karena anak tersebut dikenal nakal disekolah karena sering meminta uang pada teman-temannya.
Saya tentu tidak akan membahas atau menganalisa siapa yang menceritakan hal yang sebenarnya. Karena saya juga tahunya hanya menyaksikan berita ditelevisi. Lalu apa dong yang akan dibahas? Saya coba kritisi atau mungkin ingin memberikan alternatif tentang metode pendidikan yang bisa diterapkan dan bagaimana sekolah mengambil kebijakan dalam menyikapi anak-anak yang "nakal" dalam pandangan guru/kepala sekolah atau wali murid yang lain.
Guru atau siapapun anda tentu inginnya jika punya anak didik maka kalau bisa sih yang pandai, sopan dan hal-hal ideal lain yang biasa ada dibenak kita. Tetapi kenyataan ternyata berbeda, dalam satu kelas pasti terdapat anak dengan berbagai karakter, berbagai sifat, perbedaan cara belajar dan sebagainya.

Seorang guru apalagi guru di sekolah dasar memang harus memiliki cara tersendiri dalam mendidik. Jangan sampai mendidik anak SD disamakan dengan menyampaika pelajaran untuk anak SMP atau SMA. Pada tingkatan SD dimana anak masih suka bermain dan waktu konsentrasi yang masih terbatas memang menuntut guru lebih kreatif dalam menyampaikan materi pelajaran. Materi pelajaran tentu tidak melulu harus disampaikan dikelas secara formal. Guru bisa memberikan materi dengan permainan atau bahkan bisa sambil jalan-jalan disekitar sekolah. Belajar dengan berteduh dibawah pohon dipinggir sawah atai kebun pun bisa dijadikan alternatif agar pembelajaran disekolah tidak membosankan.
Berikutnya hal yang diperhatikan bagi pendidik adalah jangan pernah memberikan stigma "bodoh" pada murid. Bagi siapapun kita semestinya menganggap bahwa siapapun pasti punya kekurangan pada satu sisi dan kelebihan disisi lainnya. Tentu tidak adil jika kita menilai seorang anak bodoh hanya dengan berdasarkan nilai salah satu atau beberapa mata pelajaran yang tidak sesuai standar. Karena banyak faktor yang mempengaruhi hal ini. Cara guru mengajar, cara anak belajar, sikap guru pada anak didik, kondisi lingkungan di sekolah dan dirumah mungkin beberapa faktor yang bisa dievaluasi.
Disisi lain semestinya dalam menilai kemampuan akademik kita juga harus memeperhatikan dan menghargai proses yang dilakukan seorang anak dalam mencapainya. Walaupun seorang anak hanya mendapat nilai 5 misalnya, namun jika anak tersebut sudah mencapinya dengan upaya terbaiknya maka semestinya dia behak mendapat penghargaan sama dengan temannya yang bernilai 7. Penghargaan tentu bukan dengan kemudian menambah nilainya menjadi 7, tetapi dengan memuji usahanya dan memberikan dukungan dan pendampingan agar pemahaman anak terhadap mata pelajaran tersebut bisa meningkat.
Sedangkan menyikapi anak yang "nakal" disekolah, kadang saya merasa ironis juga ketika melihat sikap pendidik yang kadang hanya menyalahkan anak dan memberikan hukuman atau bahkan menyerahkan anak kembali pada orang tuanya. Dalam menghadapi anak-anak ini memamng dibutuhkan upaya lebih dari pihak sekolah. Saya pernah mengalami hal sepeti ini. Waktu itu salah satu anak didik kelas 1 kalau sudah marah proses belajar dikelas langsung terhenti. Karena anak ini akan mengamuk kadang memukul guru, membanting barang dan sambil menangis keras. Suatu saat saya coba menenangkan dia dengan membawanya keluar kelas, mungkin anda tidak membayangkan sikap naka ini selanjutnya Ketika saya duduk agar posisi saya sejajar denganya dengan kaki mengganjl pintu karena anka ini berusaha membanting pintu, dengan harapan komunikasi saya dengan anak ini bisa berjalan baik ternyata yang saya dapatkan justru pukulan dan tangisan yang makin keras. Setelah mencari informasi baru kami tahu anak ini temper tantrum. Beberapa kali pihak sekolah coba berdialog dengan orang tua. Kamipun sempat hampir putus asa karena berbagai cara yang kami lakuakn belum menunjukkan perkembangan. Sampai suatu waktu kami coba sampaikan baik-baik kepada orang tua dan anak kalau untuk beberapa hari anak tersebut kami liburkan. Mungkin ini anda samakan dengan skors yang diberikan sekolah. Tapi berbeda sebetulnya. 3 hari berselang liburan yang kami berikan usai dan anak tersebut masuk sekolah kembali. Alhamdulillah sampai saat ini anak tersebut tidak pernah tantrum lagi, setidaknya itu informasi yang saya dapatkan karena sudah 2 tahun saya tidak lagi mengajar disekolah itu.

0 komentar:

Posting Komentar