Jumat, 01 April 2011

Buku sejarah


Kebetulan buku karya istri selesai dicetak. Karena diterbitkan sendiri jadi jualnya pun kami lakukan sendiri. Disini saya berikan kesimpulan yang juga saya copas dari buku.
Pada masa feodal militer memberi warna dominan dalam kehidupan pemerintahan. Marc Block mengatakan bahwa ikatan yang berlaku dalam sistem feodal adalah ikatan antara penguasa dengan fasal. Kedudukan seorang raja dalam struktur sosial politik di Jawa merupakan penguasa tertinggi yang mutlak dan tidak terpencar. Keraton Yogyakarta merupakan kerajaan baru yang harus dijaga kestabilannya. Sebagai seorang raja, Sultan Hamengku Buwana I harus menguasai segala kehidupan negara, menjaga ketentraman, dan ketertiban kerajaan. Raja membutuhkan kekuatan militer untuk mencapai tujuan tersebut. Militer digunakan raja untuk mengamankan space politiknya dari ancaman konflik dan kekacauan. Kekuatan militer terus dipertahankan bahkan ditingkatkan selama kekuasaan masih menjadi tujuan utama.
Beberapa alasan militer memiliki peranan penting salah satunya adalah kondisi georafis wilayah. Wilayah Keraton Yogyakarta yang terpencar dan tumpang tindih dengan wilayah Keraton Surakarta memberi peluang besar bagi siapapun untuk melakukan tindakan yang mengancam eksistensi kerajaan. Raja membutuhkan institusi keamanan untuk mengawasi dan mengontrol wilayah. 
Selain itu, faktor lainnya adalah susunan masyarakat yang heterogen, berdasarkan status sosial maupun politik. Kebijakan raja tidak sepenuhnya dapat diterima oleh semua kelompok masyarakat. Terutama kelompok elit politik (birokrat kerajaan) atau kelompok politik di luar birokrasi kerajaan (orang yang berpengaruh dan menjadi pengerak aksi pemberontakan) yang memiliki kepentingan politik untuk mempertahankan eksistensinya. Tindakan perlawanan mereka berpotensi menimbulkan konflik yang besar Eksistensi kekuasaan raja sangat dipengaruhi oleh penerimaan kelompok tersebut. Militer menjadi sandaran untuk menghadapi perlawanan mereka.
Memiliki kekuatan militer yang tangguh sangat dipengaruhi oleh kemampuan raja dalam bidang tersebut. Raja memiliki peran dalam membentuk jiwa ksatria bagi tentaranya. Doktrin yang diciptakan seorang raja melalui piwulang dan latihan militer diharapkan dapat menjamin kualitas tempur dan kesetiaan terhadap pimpinan. Sultan Hamengku Buwana I maupun Sultan Hamengku Buwana II memiliki kemampuam militer yang luar biasa. Hal ini terlihat dari jumlah pasukan yang besar dan berkualitas, persenjataan, dan sistem pengamanan yang dibangun. Selain memiliki fungsi tempur, kekuatan militer juga berfungsi untuk menjaga kewibawaan dan kebesaran raja.
Prajurit di Jawa menduduki posisi penting, hal ini terlihat dari gelar yang di sandang Sultan Senopati ing Alaga (panglima perang). Militer adalah bagian dari kemampuan yang harus dikuasai seorang raja. Raja adalah penguasa yang menggunakan militer untuk mengamankan space politiknya. Peran militer akan semakin besar ketika kerajaan dalam kondisi kacau dan banyak konflik yang muncul. Kondisi tersebut yang terjadi selama kekuasaan Sultan Hamengku Buwana I maupun Sultan Hamengku Buwana II. Berbagai peristiwa yang muncul selalu melibatkan militer untuk mengatasinya.   
          Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana II telah terjadi beberapa konflik yang berujung pada peperangan. Sultan harus mempertahankan kekuasaannya walaupun harus menghadapi tekanan lawan-lawan politiknya. Intervensi Kolonial semakin memperkuat tekanan tersebut. Kekuasaan Sultan semakin terancam pada saat Raden Rangga ingin menuntut haknnya. Pemberontakan Rangga merupakan ledakan konflik yang terselubung. Melalui sebuah rekayasa politik, Sultan dinyatakan terlibat membantu usaha Raden Rangga oleh pihak Kolonial Belanda dan harus kehilangan tahtanya.
Sultan Hamengku Buwana II juga mengalami konflik besar dengan Pemerintah Inggris. Pada kondisi tersebut, kekuatan militer menjadi perisai atau pelindung terakhir untuk mempertahankan kekuasaannya. Walaupun pada akhirnya mengalami kekalahan tetapi Sultan Hamengku Buwana II telah berhasil menunjukkan eksistensi kekuatan militernya. Pada akhirnya, Pemerintah Kolonial harus mengadakan kontrak politik untuk membatasi jumlah dan fungsi pasukan keraton sebagai langkah antisipasi untuk mempertahankan keberadaannya di wilayah Jawa.  
          Periode 1792-1812 merupakan masa transisi kekuasaan dengan dua akibat yang berbeda terhadap posisi militer Keraton Yogyakarta. Pada Tahun 1792 merupakan awal kekuasaan Sultan Hamengku Buwana II sekaligus akhir kekuasaan Hamengku Buwana I. Kekuatan militer Keraton Yogyakarta berada pada posisi matang, dalam arti kemapanan performance prajurit, pelatihan, hingga persenjataan. Pihak Kolonial Belanda menerima militer Keraton Yogyakarta sebagai kekuatan penyeimbang dalam mempertahankan keberadaannya di wilayah Jawa.
Pada tahun 1812 telah terjadi pergantian kekuasaan dari Sultan Hamengku Buwana II kepada putranya Sultan Hamengku Buwana III. Eksistensi militer Keraton Yogyakarta mengalami kemerosotan akibat intervensi Kolonial Inggris. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan Pemerintah Kolonial sebagai kekuatan penentu. Pada akhirnya militer hanya menjadi lambang kebesaran tanpa dapat digunakan untuk mempertahankan kebesaran itu sendiri.

4 komentar:

Andromeda mengatakan...

Waw,buku terbitan hasil karya sendiri...Keren mas tulus...!! :D

Jadi pengen nulis buku,hhehe... ^^

Mobile App Developers mengatakan...

I really appreciate your professional approach. These are pieces of very useful information that will be of great use for me in future.

Web Designers Pitampura mengatakan...

Amazing blog and very interesting stuff you got here! I definitely learned a lot from reading through some of your earlier posts as well and decided to drop a comment on this one!

Web Designers Pitampura mengatakan...

Blogging is the new poetry. I find it wonderful and amazing in many ways.

Posting Komentar